Provinsi Sulawesi Barat (sulbar) mengalami isu lingkungan sekaligus politis, yaitu laju pengikisan tinggi yang mengancam kepulauan terdepan Bala-Balakang di Perairan Selat Makassar akan hilang daratannya. Secara geografis jarak tempuh dari kota Balikpapan di Kalimantan Timur jauh lebih ekonomis dan hemat waktu dibandingkan dari kota Mamuju, sehingga Kepulauan Bala-Balakang menjadi destinasi wisata bahari yang sangat menarik bagi masyarakat Balikpapan, apalagi dengan kondisi terumbu karang yang masih sangat bagus. Wajar apabila Provinsi Kalimantan Timur ingin memiliki kepulauan yang sangat potensial menjadi wisata bahari terindah di Selat Makassar. Sudah seharusnya Pemprov. Sulbar menaruh perhatian serius menghadapi isu lingkungan dan politis di kepulauan tersebut.
Dilema pembangunan di halaman terdepan Sulbar ini adalah jarak tempuh yang lama sekitar 7-8 jam menggunakan perahu bermotor untuk mencapai Kepulauan Bala-Balakang dari Mamuju, disamping masih belum menjadi program prioritas pada sektor kelautan dan perikanan. Kondisi ini membuat program pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan disana tidak tertangani dengan baik. Akibatnya aktivitas perikanan yang merusak (destructive fishing) marak dilakukan dan telah mengganggu keberlangsungan ekosistem terumbu karang yang ada. Apabila hal itu dibiarkan, maka keindahan terumbu karang yang menjadi daya tarik wisatawan dan rumah bagi ikan karang untuk berkembang secara berkelanjutan akan terancam hilang.
Padahal, ancaman utama kepalauan Bala-Balakang adalah laju abrasi yang sangat besar. Analisis penulis menggunakan citra satelit Sentinel-2 dengan membandingkan kondisi 16 pulau kecil yang ada di sekitar kepulauan pada tgl. 8 April s/d 14 November 2019, terlihat perubahan daratan yang tertutup air laut sangat signifikan, akibat abrasi yang sangat besar. Perlu segera dihitung laju abrasi di setiap sisi pulau-pulau tersebut secara menyeluruh. Kondisi ini diperburuk dengan laju kenaikan muka laut di perairan Selat Makassar akibat pemanasan global dan sistem arus yang bergerak ke selatan dari Samudera Pasifik Barat menuju Hindia melalui Selat Makassar dan Lombok, yang dikenal dengan sebutan Arus Lintas Indonesia (Arlindo) sepanjang tahun dan menambah kenaikan muka laut yang terjadi pada pulau-pulau itu. Perhitungan penulis menggunakan data muka laut dari rekaman satelit TOPEX/POSEIDON dan hasil simulasi komputer menunjukkan laju kenaikan sebesar 1,44 m
dari tahun 1993 s/d 2100. Dengan demikian, kepulauan Bala-Balakang mengalami 2 (dua) ancaman bencana lingkungan sekaligus: laju abrasi dan kenaikan muka laut yang tinggi.
Perlu program mitigasi lintas organisasi perangkat daerah (OPD) pada dinas kelautan dan perikanan (DKP), dinas lingkungan hidup, dinas pariwisata, dan dinas pekerjaan umum di Pemprov. Sulbar untuk mengatasi bersama masalah tersebut. Pada tataran pemerintah pusat, Direktorrat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, KKP, akan menjadikan kepulauan BalaBalakang sebagai kawasan konservasi yang akan melindungi terumbu karang melalui program restorasi dan penguatan kebijakan untuk mencegah aktivitas perikanan yang merusak sumberdaya kelautan dan perikanan.
Program mitigasi sedapat mungkin memahami karakter geomorfologi pantai di Kepulauan Bala-Balakang, agar penanganan abrasi dapat dilakukan secara alamiah dengan mengembalikan sistem sirkulasi arus sepanjang pantai sesuai kondisi alamnya. Manajemen pantai menggunakan teknologi ini disebut “coastal cell management”. Dalam konsep ini pembangunan infrastruktur pantai seperti pemecah gelombang (breakwater) untuk menahan laju abrasi secara fisik dapat dikurangi agar sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan pada bagian lainnya dapat dihindari.
Tidak kalah pentingnya adalah upaya memberdayakan penduduk Kepulauan BalaBalakang memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim, terutama kenaikan muka laut tinggi di perairan Selat Makassar. Program pengembangan kapasitas masyarakat (community development) dapat diusulkan Balitbangda Pemprov Sulbar dengan mencari pendanaan internasional yang tersedia melalui Green Climate Fund dalam kerangka kerja United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC), mengingat dana yang tersedia untuk membuat program prioritas melalui penetapan peraturan daerah khusus pengelolaan Kepulauan Bala-Balakang masih belum dapat dilakasanakan.
Tujuan akhir dari pemberdayaan penduduk Kepulauan Bala-Balakang adalah kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim yang terjadi dalam bentuk kenaikan muka laut tinggi dan kemampuan mengurangi bahaya abrasi yang telah menggerus garis pantai dikembalikan pada kondisi awalnya secara alamiah. Apabila kedua aspek bencana lingkungan tersebut dapat ditanggulangi, maka Pemprov Sulbar dapat membuat program kelautan dan perikanan unggulan dengan memanfaatkan lokasi strategisnya di tengah perairan Selat Makassar. Pelabuhan yang ada di Kepulauan Bala-Balakang dapat digunakan untuk mengumpulkan hasil tangkapan nelayan di sekitarnya dan siap dipasarkan secara
nasional dan internasional, mengingat lokasi kepulauan berada dekat pada jalur Alur Lintas Kepulauan Indonesia (ALKI) 2. Kondisi terumbu karang yang relatif baik di kepulauan dapat digunakan untuk budidaya ikan karang yang merupakan komoditas ekonomi tinggi.
Selain aktivitas perikanan, Kepulauan Bala-Balakang dapat juga dimanfaatkan untuk program kelautan sebagai pusat pemantauan Arus Lintas Indonesia (arlindo) dalam skala penelitian internasional, mengingat pentingnya infrmasi perubahan transport arlindo untuk prediksi perubahan iklim regional yang akan terjadi. Prediksi iklim, seperti El Nino yang menyebabkan kekeringan dan La Nina banyak hujan, selama 3-6 bulan sebelum kejadian berlangsung di wilayah Indonesia sangatlah penting dalam mendukung program ketahanan pangan nasional.
Program yang tidak kalah pentingnya adalah membuat sistem pengawasan (surveillance) untuk keselamatan pelayaran dalam sistem transportasi laut di jalur ALKI 2, disamping dapat juga berfungsi sebagai sistem peringatan dini tsunami yang memiliki potensi besar mengancam ibu kota negara baru di Kalaimantan Timur dan wilayah Sulbar.
Tidak dapat diragukan lagi posisi Kepulauan Bala-Balakang dengan 16 pulaunya bukanlah sebuah dilema pembangunan bagi Sulbar, namun sebuah peluang emas yang belum dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk pendapatan asli daerah dari potensi wisata bahari, industri perikanan ikan karang dan budidaya ikan laut, pelabuhan yang berfungsi juga sebagai tempat mengisi bahan bakar kapal laut nasional dan internasional (refuelling), dan sistem pemantauan perubahan iklim regional dan sistem pengawasan keselamatan transportasi laut, serta sistem peringatan dini tsunami. Sudah saatnya kita memperhatikan pelataran depan rumah Sulbar di Kepulauan Bala-Balakang.

Penulis:

Dr. Fadli Syamsudin

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan

Provinsi Sulawesi Barat

By Dinas Kelautan dan Perikanan

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Barat

Follow by Email
YouTube
Instagram