humasDKP(04/06/25)-Laporan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Barat, Dr. Suyuti, menyoroti isu krusial tentang penambangan pasir di laut dan dampaknya terhadap ekosistem pesisir serta kesejahteraan masyarakat. Pernyataan beliau, yang menekankan potensi kerusakan terumbu karang, lamun, dan mangrove akibat penambangan masif yang tak terkendali, merupakan peringatan penting yang harus kita cermati. Perhatian oleh semua leading saktor sangat diperlukan guna mewujudkan misi Gubernur Dr. Suhardi Duka dan Wakil Gubernur Salim S Mengga.
Ketiga ekosistem ini bukan sekadar komponen lingkungan, melainkan pilar utama keseimbangan alam dan sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir. Kerusakannya berdampak luas, mengancam ketahanan pangan, ekonomi, dan bahkan budaya masyarakat.
Dari sudut pandang ilmiah, terumbu karang, lamun, dan mangrove memiliki peran ekologis yang tak tergantikan. Terumbu karang, sebagai “hutan hujan laut”, menghasilkan keanekaragaman hayati yang tinggi, menjadi tempat pemijahan dan asuhan berbagai spesies ikan dan biota laut lainnya. Lamun berperan sebagai penyerap karbon, penstabil sedimen, dan penyedia habitat bagi berbagai organisme. Mangrove, dengan akar-akarnya yang kuat, melindungi garis pantai dari abrasi, menjadi tempat berkembang biak berbagai jenis ikan, udang, dan kepiting, serta berperan penting dalam siklus nutrisi. Penambangan pasir yang merusak ekosistem ini akan memutus rantai kehidupan tersebut, berdampak negatif pada perikanan, pariwisata, dan ekonomi berbasis kelautan.
Namun, kita juga perlu memahami konteks sosial-ekonomi. Penolakan terhadap izin penambangan seringkali muncul dari kekhawatiran akan dampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga dari kurangnya partisipasi dan manfaat bagi masyarakat sekitar. Oleh karena itu, solusi yang holistik dan berkelanjutan diperlukan, bukan hanya sekadar pelarangan total, tetapi juga pengelolaan sumber daya yang bijak dan berkeadilan.
Intervensi sosial yang diusulkan Dr. Suyuti menawarkan kerangka kerja yang komprehensif. Pengembangan ekonomi lokal, misalnya, dapat menciptakan alternatif mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat, mengurangi ketergantungan mereka pada sektor pertambangan yang berisiko merusak lingkungan. Pendidikan dan pelatihan, khususnya dalam bidang kelautan dan perikanan berkelanjutan, akan memberdayakan masyarakat untuk mengelola sumber daya alam secara bertanggung jawab. Program pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi menjadi krusial untuk memastikan bahwa masyarakat tidak terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang mendorong eksploitasi sumber daya secara berlebihan.
Selain itu, pembangunan infrastruktur yang memadai, pengelolaan limbah yang efektif, reboisasi, dan peningkatan kesehatan masyarakat merupakan investasi penting untuk mengurangi dampak negatif pertambangan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Yang tak kalah pentingnya adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait kegiatan pertambangan. Dengan melibatkan masyarakat secara aktif, kita dapat memastikan bahwa proyek pertambangan, jika memang diizinkan, dilakukan dengan memperhatikan kepentingan lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat setempat.
Kesimpulannya, isu penambangan di pesisir pantai bukanlah masalah yang sederhana. Ia menuntut pendekatan yang terintegrasi, yang menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Model pembangunan berkelanjutan yang menempatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian ekosistem sebagai prioritas utama harus menjadi panduan dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa eksploitasi sumber daya alam tidak mengorbankan masa depan generasi mendatang dan kesejahteraan masyarakat pesisir Sulawesi Barat.